Aksi penipuan bermodus mengurus perkara di Mahkamah Agung berulang kali terjadi. Pelaku penipuan mengaku panitera pengganti atau hakim agung. Si Penipu menyasar para pencari keadilan atau kuasa hukumnya. Ia menawarkan “jasa” dapat membantu mengurus perkara di Mahkamah Agung, dengan jaminan perkara tersebut akan diputus sesuai keinginan. Jasa tersebut harus dibalas dengan sejumlah rupiah yang harus disetorkan ke rekening beridentitas “palsu” atas nama pejabat di Mahkamah Agung. Panitera Mahkamah Agung, Soeroso Ono, menyatakan prihatin atas aksi penipuan yang berulang terjadi. Ia meminta kepada masyarakat untuk tidak percaya apalagi menuruti tawaran jasa untuk mengurus perkara di Mahkamah Agung.
“Orang yang mengaku pegawai Mahkamah Agung dan menawarkan jasa untuk mengurus perkara kasasi atau peninjauan kembali, dipastikan Penipu”, tegas Panitera Mahkamah Agung.
Menurut Panitera, Hakim dalam memeriksa perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun. Sehingga, jika ada yang mengatakan bisa menghubungkan dengan majelis itu adalah modus penipuan. Selain itu, Mahkamah Agung tidak melakukan komunikasi dengan para pihak berperkara baik melalui surat maupun dengan telpon atau faksimile. Surat yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung terkait dengan penanganan perkara adalah terbatas pada surat perihal penerimaan/registrasi perkara dan pengiriman salinan putusan. Surat tersebut, kata Panitera, disampaikan melalui pengadilan pengaju.
Modus Penipuan
Dari surat pengaduan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Agung, modus penipuan dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
– Si Penipu berkirim surat ke alamat pihak berperkara menggunakan amplop cokelat, mirip amplop dinas, tapi tidak menggunakan kop surat. Pengiriman surat menggunakan jasa PT. Pos Indonesia. Sebagian besar surat menggunakan perangko. Padahal, surat dinas tidak menggunakan perangko tempel.
– Bentuk surat sekilas menyerupai surat dinas, menggunakan kop surat, ditandatangani oleh Panitera Muda dan dibubuhi stempel. Namun tentu saja, stempel dan tanda tangan tersebut dipalsukan;
– Isi surat cukup panjang, diawali dengan pernyataan komitmen keterbukaan informasi di Mahkamah Agung sebagaimana SK KMA 144/KMA/SK/VIII/2007. Ada juga model pembukanya yang dikaitkan dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah. Selanjutnya dalam isi surat ada permintaan untuk menghubungi nama panitera pengganti melalui nomor telepon seluler yang disebutkan dalam surat palsu tersebut;
– Apabila, target yang diberikan surat tersebut merespon dengan menghubungi nama yang disebutkan, sang Panitera Pengganti “jadi-jadian” akan bertindak seolah-olah panitera pengganti yang menangani perkara tersebut. Ia berjanji akan membantu “mempengaruhi” keputusan majelis sehingga sesuai dengan keinginannya;
– Modus terbaru, si Penipu akan mengirim dokumen jadwal sidang yang dia buat sendiri. Formatnya menyerupai halaman depan (cover set) Direktori Putusan. Dokumen ini ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Panitera Pengganti. Dokumen ini, secara psikologis diharapkan akan mendorong target korban untuk mempercayakan pengurusan perkara kepada sang Penipu. Si Penipu pun mulai melancarkan aksinya untuk meminta korban mentransfer sejumlah uang kepada rekening tertentu;
– Rekening yang disediakan adalah rekening atas nama panitera pengganti atau hakim agung yang menangani perkara. Modus ini untuk meyakinkan bahwa yang mengurus perkara adalah orang yang menangani perkara yang bersangkutan. Rekening tersebut sesungguhnya milik si Penipu. Ia membuat KTP palsu atas nama pejabat Mahkamah Agung, kemudian dengan KTP tersebut ia membuka rekening bank;
– Untuk meyakinkan korban, si Penipu memberikan dokumen yang dia sebut ‘salinan putusan’. Dokumen tersebut mirip cover set Direktori Putusan yang dilengkapi watermark. Dokumen ini juga ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Panitera Pengganti. Dalam dokumen ini, disebutkan amar singkat putusan tersebut;
– Satu lagi modus “cerdik” untuk mengelabui target korban adalah rekayasa nomor faks pengirim. Si penipu melakukan setting di mesin faksimile yaitu logo dan nomor faks. Logo di-custom menjadi Mahkamah Agung, sedangkan nomor diganti dengan nomor yang biasa ada di kop surat Mahkamah Agung. Dengan modus ini, orang akan terkelabui karena dokumen dikirim oleh nomor resmi lembaga Mahkamah Agung.
Kepaniteraan Mahkamah Agung RI